Kegelisahan Seorang Petani Tembakau
Penulis: Wisnu Brata
Penerbit: Indonesia Berdikari
Cetakan: I, Desember 2012
Tebal: 137 Halaman
“Saat
panen tembakau sedang bagus, Cuma ada satu golongan yang tidak mendapat
bagian rezeki tembakau, yaitu penjual daging. Soalnya, daripada ke kios
daging, orang-orang lebih memilih ke pasar hewan, membeli sapi
utuh-utuh untuk disembelih.” (anekdot masyarakat Temanggung)
Isu rokok memang berkembang secara dramatis. Antara fakta dan mitos menjadi semakin sulit untuk dipilah. Saking derasnya pemberitaan yang berseliweran tentang bahaya rokok, kebanyakan orang akan langsung saja mengamini ketika ada pernyataan bombastis bahwa sebatang rokok dapat mengurangi 5 menit hidup manusia.
Isu rokok memang berkembang secara dramatis. Antara fakta dan mitos menjadi semakin sulit untuk dipilah. Saking derasnya pemberitaan yang berseliweran tentang bahaya rokok, kebanyakan orang akan langsung saja mengamini ketika ada pernyataan bombastis bahwa sebatang rokok dapat mengurangi 5 menit hidup manusia.
Akan tetapi, efek dari informasi
yang disebarkan secara besar-besaran perihal bahaya rokok sudah
langsung terasa. Baik melalui peraturan perundang-undangan yang
membatasi ruang lingkup perokok, iklan rokok, pajak yang tinggi atas
rokok, hingga petani tembakau, pihak yang menggantungkan penghidupannya
pada komoditas yang bernama latin Nicotiana Tabacum tersebut, terutama
petani tembakau di Temanggung, Jawa Tengah, yang selama ini dikenal
sebagai produsen tembakau.
Buku berjudul Tembakau atau Mati ini,
menyajikan curhatan seorang petani tembakau asal Temanggung, pihak yang
selama ini kerap dilupakan dan tenggelam oleh suara lantang para
politisi, ekonom, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau
budayawan, yaitu petani tembakau itu sendiri. Warga masyarakat yang
menggantungkan hidupnya pada komoditas tersebut.
Ditulis oleh
Wisnu Brata, petani tembakau asli Temanggung jebolan Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Indonesia (UII) yang pada tahun 2000 silam mendirikan
Paguyuban Petani Tembakau Sindoro-Sumbing (PPTSS). Dengan demikian karya
ini merupakan suara dari petani tembakau.
Petani yang meletakkan urusan hidup-matinya pada tembakau, besar dan dibesarkan bersama tembakau, bisa sekolah karena tembakau, memenuhi kebutuhan, baik yang primer maupun yang sekunder, bahkan yang tersier sekalipun oleh tembakau, dan pada akhirnya mau tak mau harus bertempur sendirian menghadapi gempuran penolakan terhadap tembakau serta seluruh tradisi yang khas menyertainya.
Dengan demikian, membela eksistensi
tembakau, bagi masyarakat lereng gunung Sindoro-Sumbing-Prau, Temanggung
ini, tak ubahnya dengan membela eksistensi mereka sendiri. Melarang
tembakau berarti menyruruh mereka bunuh diri. Selain itu, bagi para
petani di Temanggung lebih dari sekedar urusan hidup dan mati, namun
juga memiliki dimensi spiritual sekaligus ekonomi.
Di Temanggung, tembakau ditanam pada pertengahan musim hujan dan dipanen pada puncak musim kemarau. Namun karena sebagian wilayahnya memiliki kemiringan lahan serta dataran tanah di atas 1.100 meter dpl., para petani di beberapa daerah harus menunggu hampir tujuh bulan untuk bias menikmati hasil panen tembakaunya.
Meski demikian, hal
tersebut tidak menyurutkan mereka untuk setia menanam tembakau. Dengan
kata lain, dramatisasi serta tuduhan yang beredar bahwa para petani
tembakau hanyalah “sapi perahan” pabrik-pabrik rokok besar tidak bias
dibenarkan sepenuhnya. Bahkan para petani memiliki posisi tawar yang
lebih baik di hadapan pedagang.
Alasannya, pertama, tembakau
adalah jenis fancy product, di mana harganya ditentukan oleh mutunya.
Jika tembakau petani bermutu baik, apalagi sangat baik, petani akan
menjadi idola dalam semusim. Kedua, karena semaraknya pemain di level
pedagang perantara.
Sebagai kabupaten yang dinaungi dua gunung
kembar legendaries di Jawa bagian selatan, Sumbing dan Sindoro, juga
beberapa gunung berukuran kecil seperti Batok dan Prau, sebagian
penduduk Temanggung bermukim di desa-desa yang berada di ketinggian di
atas 1.000 meter dpl.
Tembakau adalah pohon
kehidupan bagi sebagian besar masyarakat Temanggung. Mereka memiliki
tautan hampir dalam segala hal dengan tembakau; hidup dan mati, duniawi
dan ukhrowi, fisik dan mental, juga social dan ekonomi. Mereka
bertautan erat dengan tumbuhan yang masuk dalam famili Solanaceae
–berkerabat dengan terong, tomat, kol, kentang, dan cabe- itu.
Sehingga menjadi masuk akal ketika ada gerakan sistematis yang bertujuan untuk menghabisi komoditas tembakau, masyarakat Temanggung melakukan perlawanan. Alasan kesehatan yang selama ini didengungkan, menurut mereka, hanyalah dalih dari strategi imperialisme model baru memasuki kedaulatan negara, mengingat isu tersebut mulai dihembuskan dari Amerika.
Padahal faktanya, tembakau menjadi komoditas yang
memiliki signifikansi di bidang pertanian, keuangan, dan juga
perdagangan. Tembakau selain menjadi komoditas andalan petani di
berbagai negara, juga mempunyai kontribusi yang besar terhadap keuangan
negara melalui cukai dari produksi, distribusi, dan konsumsi rokok.
Pemasukan dari cukai rokok saja di tahun 2005 mencapai angka Rp. 32, 6
triliun.
Editor :
Jodhi Yudono
Pada dasarnya konsep mendiami dunia mengandung arti pemenuhan kebutuhan
atas aspek-aspek yang membentuk manusia. Apabila manusia tidak bisa
menjaga hakikat dirinya dan hakikat hidupnya maka yang timbul adalah
kegelisahan .sumber dari kegelisahan adalah hawa nafsu dan sikap pamrih
(tidak ikhlas). Kedua hal ini akan menyebabkan munculnya sikap
keserakahan dan konflik yang juga memunculkan ketakutan, kekecewaan, dan
pada akhirnya adalah kegelisahan.
Untuk mengatasi kegelisahan yang dialami manusia, cara yang paling ampuh
adalah kita dituntut untuk bersifat qana’ah (berpikir positif)
kembalikan semuanya kepada Allah SWT dan selalu mengingat Dia.
Sumber :
http://oase.kompas.com/read/2013/04/12/00572440/Kegelisahan.Seorang.Petani.Tembakau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar