Kasus:
PURNAMA BAKAL TENGGELAMKAN JAKARTA
JAKARTA, KOMPAS.com - Bulan mencapai fase purnama pada Minggu (27/1). Saat itu, pasang naik air laut mencapai maksimum. Namun, hal ini belum tentu menimbulkan rob atau memicu banjir besar di Jakarta. Tergantung curah hujan di daratan, kecepatan angin, tinggi gelombang di laut, dan ada tidaknya siklon tropis.
Pasang adalah fenomena naik turunnya permukaan air laut yang terjadi setiap hari. Kenaikan air laut dipengaruhi oleh gaya gravitasi Bulan dan Matahari.
Karena jarak Bulan ke Bumi lebih dekat dibandingkan Matahari, pengaruh gravitasi Bulan terhadap Bumi 1,46 kali lebih besar dibandingkan pengaruh gravitasi Matahari. ”Makin dekat jaraknya, makin besar gaya gravitasinya,” kata dosen Kelompok Keahlian Tata Surya, Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung, Moedji Raharto, Rabu (23/1/2013).
Waktu air laut naik atau turun di setiap daerah berbeda. Besaran kenaikan muka air laut pun bervariasi dari hari ke hari.
Kenaikan mencapai maksimum saat Bulan purnama dan Bulan mati karena gaya gravitasi Bulan dan Matahari saling menguatkan. Sebaliknya, kenaikan air laut minimum saat Bulan pada fase perempat awal dan perempat akhir karena gravitasi Bulan dan Matahari saling melemahkan.
Besaran gaya gravitasi Bulan terhadap Bumi juga ditentukan oleh jarak Bumi dan Bulan yang bervariasi setiap hari. Penyebabnya, lintasan revolusi Bulan mengelilingi Bumi berbentuk elips sehingga dalam satu putaran akan ada jarak terjauh dan terdekat Bulan terhadap Bumi.
Saat ini, Bulan bergerak dari titik terjauhnya menuju titik terdekatnya terhadap Bumi. Jarak terjauh Bulan untuk periode revolusi kali ini terjadi 22 Januari pada jarak 405.320 kilometer. Jarak terdekatnya terjadi 10 Januari pada jarak 360.048 kilometer dan 7 Februari pada jarak 365.314 kilometer.
”Karena saat ini Bulan relatif dekat dengan jarak terjauhnya, dampak terhadap pasang air laut tidak sebesar ketika Bulan di titik terdekatnya,” kata Moedji.
Muka air laut sama
Kepala Pusat Meteorologi Publik Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) R Mulyono Rahadi Prabowo mengatakan, data Dinas Hidro-Oseanografi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut menyebutkan, tinggi pasang air laut di pantai utara Jakarta mencapai maksimum pada 24-25 Januari setinggi 1,1 meter dari kondisi normal. Pada 26-28 Januari berkisar 1 meter.
Pada 27 Januari, air laut mulai naik pukul 05.00 dan mencapai puncak pukul 08.00-11.00. Setelah itu air laut surut lagi.
Tinggi muka air laut saat banjir besar pekan lalu dengan yang diisukan akan terjadi akhir pekan ini sama.
Banjir besar yang melanda Jakarta pada 15-17 Januari terjadi beberapa hari setelah pasang naik maksimum air laut saat Bulan mati. Fase Bulan mati terjadi pada 13 Januari. Saat itu, ketinggian air laut 1-1,1 meter pada 10-13 Januari.
Artinya, faktor curah hujan akan lebih berperan pada banjir tidaknya Jakarta. Pekan lalu, hujan dengan intensitas tinggi (lebih dari 100 milimeter per hari) terjadi merata mulai kawasan Puncak, Bogor, Depok, hingga Jakarta.
Pada akhir pekan ini hingga awal pekan depan, prakiraan BMKG menunjukkan, intensitas hujan tinggi berpotensi terjadi di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Bogor bagian selatan. Di wilayah Jakarta lain dan sekitar Jakarta, intensitas hujan ringan-sedang.
”Saat ini hingga awal Februari adalah puncak musim hujan. Karena itu, potensi terjadi hujan sedang hingga lebat tinggi,” kata Prabowo.
Cuaca laut
Pasang naik maksimum akan menimbulkan rob atau limpasan air laut ke daratan jika pada saat bersamaan kecepatan angin di laut dan gelombang laut tinggi. Terlebih lagi jika ada badai siklon tropis di Laut China Selatan.
Tingginya kecepatan angin menentukan ketinggian gelombang yang terjadi. Jika muka laut sudah tinggi akibat pasang naik maksimum dan gelombang lautnya tinggi, dampaknya di darat akan sangat besar.
Banjir rob di pantai utara Jakarta sebenarnya peristiwa rutin. Waktu terjadinya rob umumnya Juni-Agustus saat musim kemarau di Jakarta dan musim panas di belahan Bumi utara. Ketika itu, potensi munculnya siklon tropis di Laut China Selatan sangat tinggi.
Saat ini, potensi siklon tropis ada di Samudra Hindia di selatan Jawa. Karena itu, badai ini tidak memberikan dampak besar bagi perairan Jakarta.
Peneliti Meteorologi Maritim BMKG Andri Ramadhani mengatakan, karakter banjir rob di Jakarta berbeda dengan daerah lain di pantai utara Jawa. Meski sama-sama dipicu oleh tinggi muka air laut, kecepatan angin laut, dan tingginya gelombang laut, rob di Jakarta juga dipicu gelombang alun dari Laut China Selatan.
”Gelombang alun yang menerpa Jakarta merupakan rambatan dari gelombang tinggi di Laut China Selatan akibat badai siklon tropis,” katanya.
Menurut Prabowo, selama akhir pekan ini hingga awal pekan depan belum terlihat adanya bibit siklon tropis di atas Laut China Selatan. Kecepatan angin di wilayah tersebut di bawah 25 knot (46 kilometer per jam). Tinggi gelombang sekitar 3 meter.
Keadaan di Laut China Selatan harus diwaspadai jika tinggi gelombangnya 5-6 meter dan kecepatan angin di atas 25 knot.
Relatif tenangnya kondisi Laut China Selatan membuat perairan utara Jakarta relatif aman. Kecepatan angin sekitar Teluk Jakarta, pekan ini, 5-15 knot (9 km per jam hingga 28 km per jam). Tinggi gelombang di Laut Jawa normal, 2-3 meter.
Kewaspadaan harus dilakukan jika perairan Jakarta memiliki angin berkecepatan 15-25 knot (28 km per jam hingga 46 km per jam) dan tinggi gelombang lebih dari 3 meter.
Data menunjukkan, tidak ada aspek astronomis dan meteorologis yang perlu dikhawatirkan berlebih sebagai akibat naiknya muka air laut di perairan utara Jakarta.
Meski demikian, kewaspadaan tetap diperlukan karena risiko bencana tetap ada. Prediksi ini belum memperhitungkan kerusakan lingkungan dan kesiapan infrastruktur menghadapi bencana yang mungkin terjadi. ”Yang penting, jangan panik,” kata Andri.
Sumber : Kompas Cetak
Editor : yunan
KEMISKINAN
Kasus:
Produksi minyak Indonesia saat ini terus
menurun, bahkan di bawah 900 ribu barel per hari. Sebanyak 95% produksi
minyak ini diproduksi dari Indonesia bagian barat.
Demikian disampaikan oleh Kepala Satuan
Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini di kantor
Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (16/1/2013).
“Kita kan produksi 95% dari bagian Barat
Indonesia, dari Pulau Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Tapi kemudian
baru 5 persen dari arah Timur Indonesia. Oleh karena itu, kita harapkan
bahwa eksplorasi berikutnya silakan ke Timur. Tapi karena Timur itu
daerah susah, lautnya dalam biayanya mahal maka tentunya ini memerlukan
insentif tersendiri,” tutur Rudi.
Rudi mengatakan, dirinya ingin agar
dalam 5-10 tahun ke depan Indonesia bisa mempunyai sumur minyak yang
baru agar generasi mendatang tidak mengalami kelangkaan pasokan minyak.
Namun sekali lagi, pemerintah harus mengundang perusahaan asing karena
biaya yang besar untuk menggarap lapangan migas.
“Eksplorasi itu berisiko, dia akan melakukan langkah demi langkah dengan pertimbangan,” kata Rudi.
Diungkapkan Rudi, eksplorasi satu sumur
minyak nilainya bisa mencapai US$ 700 juta, dan apabila tidak didapatkan
minyak, maka pemerintah tidak akan mengganti uang investasi berupa cost
recovery.
Secara terpisah, Direktur Pengendali
Operasi SKK Migas Gde Pradnyana mengatakan, pihaknya mengajukan agar
target lifting minyak 900 ribu barel per hari diturunkan.
Gde mengatakan, dalam 16 hari berjalan
di 2013 ini, produksi minyak tidak pernah mencapai 900 ribu barel per
hari. Ia mencatat rata-rata produksi hanya 836 ribu barel per hari. Ia
berharap lapangan-lapangan kecil masih bisa membantu tambahan produksi.
“Sekarang 836.000 barel per hari, ada beberapa lapangan yang kecil-kecil yang mau kita kembangkan,’ ucapnya.
Sumber:
http://sains.kompas.com/read/2013/01/25/09281278/Purnama.Bakal.Tenggelamkan.Jakarta
http://www.beritadulu.com/4044-sebanyak-95-produksi-minyak-diproduksi-dari-indonesia-bagian-barat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar