- Pendahuluan
Pembangunan industri, yang pada awalnya ditujukan untuk mendorong kemajuan
perekonomian, berpengaruh pula secara sosial terhadap perkembangan masyarakat.
Menurut Schneider (1993:430), “salah satu akibat yang terpenting dari timbulnya
industrialisme adalah terbentuknya komunitas-komunitas baru, atau perubahan
serta pertumbuhan yang cepat dari komunitas yang sudah ada”. Jika pada masa
lalu industri ditempatkan di luar kota dan dekat dengan sumber bahan mentah dan
sumber tenaga, pada perkembangan selanjutnya tidak demikian. Industri
ditempatkan pada suatu daerah yang disekitarnya sudah terdapat sebuah
komunitas.
Penempatan industri tidak lagi harus mendekati bahan mentah, tetapi lebih mempertimbangkan ketersediaan lahan dan lingkungan yang memadai. Dengan ketersediaan sarana transportasi, bahan mentah yang dibutuhkan dapat didatangkan dari sumbernya ke tempat industri pengolahan berada. Dengan situasi demikian, industri dengan cepat membangun komunitas di sekitarnya. Dapat dikatakan bahwa keberadaan industri hampir tidak dapat dibayangkan tanpa ada komunitas di sekitarnya. Jadi ada koeksistensi antara industri dengan komunitas.
Koeksistensi yang selalu ada antara industri dan komunitas, menurut Schneider (1993:430-431), timbul karena berbagai sebab.
Penyebab pertama adalah
kebutuhan industri akan persediaan tenaga kerja. Industri membutuhkan tenaga
kerja yang dapat diandalkan yang dapat masuk kerja setiap hari dan tepat waktu,
yang segera dapat dipanggil kembali bekerja setelah suatu periode pemberhentian
dan tidak mempunyai mata pencaharian lain selain industri tersebut. Untuk
menciptakan dan mendapatkan persediaan tenaga kerja seperti itu, industri harus
memasuki komunitas yang ada atau menciptakan komunitas kemana tenaga kerja
dapat ditarik.
Kedua, komunitas menjadi pasar yang besar bagi produk industri tersebut. Dengan menempatkannya dekat sebuah pasar kota, industri dapat mengurangi biaya biaya transportasi, khususnya bila sebagaian besar pasar suatunindustri bertempat di pusat metropolitan yang besar. Lagi pula, industri perlu berlokasi dalam sebuah komunitas karena pusat kota mengendalikan perubahan mode yang harus diikuti.
Ketiga, industri membutuhkan komunitas sebagai sumber jasa khusus. Salah satu jasa ini adalah transportasi, dimana dalam komunitas tersebut tersedia sarana angkutan untuk membawa bahan mentah ataupun mengirimkan hasil produksinya. Industri juga mendapatkan keuntungan lain dari komunitas berupa perlindungan keamanan, pendidikan para pekerjanya dalam berbagai keterampilan yang dibutuhkan industri, persediaan air, penyediaan pemukiman dan sebagainya. Komunitas juga memberikan daya tarik yang diperlukan untuk menarik dan mempertahankan karyawan industri yang berupa rekreasi, pendidikan yang baik, maupun standar hidup yang lebih tinggi.
Kedua, komunitas menjadi pasar yang besar bagi produk industri tersebut. Dengan menempatkannya dekat sebuah pasar kota, industri dapat mengurangi biaya biaya transportasi, khususnya bila sebagaian besar pasar suatunindustri bertempat di pusat metropolitan yang besar. Lagi pula, industri perlu berlokasi dalam sebuah komunitas karena pusat kota mengendalikan perubahan mode yang harus diikuti.
Ketiga, industri membutuhkan komunitas sebagai sumber jasa khusus. Salah satu jasa ini adalah transportasi, dimana dalam komunitas tersebut tersedia sarana angkutan untuk membawa bahan mentah ataupun mengirimkan hasil produksinya. Industri juga mendapatkan keuntungan lain dari komunitas berupa perlindungan keamanan, pendidikan para pekerjanya dalam berbagai keterampilan yang dibutuhkan industri, persediaan air, penyediaan pemukiman dan sebagainya. Komunitas juga memberikan daya tarik yang diperlukan untuk menarik dan mempertahankan karyawan industri yang berupa rekreasi, pendidikan yang baik, maupun standar hidup yang lebih tinggi.
Seperti halnya Schneider, Parker
(1990:93) menyatakan bahwa “munculnya industri baru dalam suatu wilayah akan
memberikan pengaruh besar terhadap jumlah tenaga kerja.” Kebutuhan industri
terhadap tenaga kerja yang memadai, tidak sepenuhnya dapat terpenuhi oleh
komunitas yang sudah ada, karena industri membutuhkan tenaga kerja yang
memiliki karakteristik tertentu, seperti keterampilan dan pendidikannya;
termasuk juga perilaku kerja tertentu. Kebutuhan tenaga kerja industri menjadi
salah satu dari daya tarik industri, selain dari munculnya kesempatan ekonomi
lain akibat keberadaan industri yang bisa dijadikan sumber penghasilan bagi
masyarakat. Para tenaga kerja berdatangan ke wilayah tersebut untuk mencoba
memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada, baik di sektor industri maupun di
sektor lainnya. Hal ini semakin memperbesar jumlah penduduk, khususnya penduduk
usia kerja. Tenaga kerja yang masuk berasal dari berbagai daerah dengan latar belakang
sosial budaya yang beragam.
Kehadiran para pekerja pendatang, secara relatif menyebabkan perubahan pola interaksi komunitas. Interaksi antar anggota komunitas menjadi semakin luas, dan proses interaksi dalam komunitas akan terpengaruh oleh adanya keragaman latar belakang sosial budaya dari anggotanya. Pada proses interaksi, jaringan interaksi anggota komunitas yang meluas menyebabkan intensitas interaksi antar-anggota berkurang, terutama pada sebagian anggota komunitas, seperti pendatang yang memiliki sosiabilitas yang rendah. Dalam interaksinya, penduduk pendatang dan pribumi dituntut pula untuk mempertimbangkan latar belakang sosial budaya masing-masing. Hal ini menyebabkan intensitas dan pola interaksi komunitas mengalami perubahan orientasi; termasuk juga dialami oleh penduduk pribumi yang terseret oleh dinamika industri. Dinamika pada komunitas di sekitar industri, dalam jangka panjang akan mengembangkan komunitas tersebut menjadi berbeda dengan bentuk komunitas sebelumnya.
Komunitas yang ada di sekitar industri, baik yang pada awalnya adalah komunitas pedesaan maupun komunitas yang diciptakan setelah adanya industri, mengembangkan satu karakteristik tertentu yang sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini terjadi karena industri memiliki daya pengaruh yang besar terhadap komunitas untuk menimbulkan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Sebuah komunitas yang mendapatkan pengaruh dari adanya industri akan berkembang ke arah suatu komunitas perkotaan, yang memiliki karateristik yang berbeda dibandingkan dengan sebelum industri didirikan.
Menurut Louis Wirth (dalam Daldjuni, 1982:27): “kota ditentukan oleh ukurannya yang cukup besar, kepadatan penduduknya, dan heterogenitas masyarakatnya.” Gaya hidup khas kekotaan disebut dengan urbanisme; dan ini ditentukan oleh ciri-ciri spatial, sekularisasi, asosiasi sukarela, peranan sosial yang terpisah dan norma-norma yang kabur. Mengenai pemikiran Wirth ini, Daldjuni (1982:28) berpendapat bahwa:
Pokok-pokok yang dibicarakan oleh Wirth meliputi kedangkalan interaksi individu, anomi, serta perspektif penelaahan urbanisasi… Sebagai struktur sosial, urbanisasi menggantikan hubungan primer dengan sekunder. Akibatnya di kota ikatan kekerabatan lemah, gotong royong menipis, dan solidaritas goyah… Urbanisme melahirkan mentalitas kota dimana sikap, ide, dan keperibadian manusianya lain dengan yang terdapat di pedesaan”
Kehadiran para pekerja pendatang, secara relatif menyebabkan perubahan pola interaksi komunitas. Interaksi antar anggota komunitas menjadi semakin luas, dan proses interaksi dalam komunitas akan terpengaruh oleh adanya keragaman latar belakang sosial budaya dari anggotanya. Pada proses interaksi, jaringan interaksi anggota komunitas yang meluas menyebabkan intensitas interaksi antar-anggota berkurang, terutama pada sebagian anggota komunitas, seperti pendatang yang memiliki sosiabilitas yang rendah. Dalam interaksinya, penduduk pendatang dan pribumi dituntut pula untuk mempertimbangkan latar belakang sosial budaya masing-masing. Hal ini menyebabkan intensitas dan pola interaksi komunitas mengalami perubahan orientasi; termasuk juga dialami oleh penduduk pribumi yang terseret oleh dinamika industri. Dinamika pada komunitas di sekitar industri, dalam jangka panjang akan mengembangkan komunitas tersebut menjadi berbeda dengan bentuk komunitas sebelumnya.
Komunitas yang ada di sekitar industri, baik yang pada awalnya adalah komunitas pedesaan maupun komunitas yang diciptakan setelah adanya industri, mengembangkan satu karakteristik tertentu yang sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini terjadi karena industri memiliki daya pengaruh yang besar terhadap komunitas untuk menimbulkan terjadinya perubahan sosial di dalam masyarakat. Sebuah komunitas yang mendapatkan pengaruh dari adanya industri akan berkembang ke arah suatu komunitas perkotaan, yang memiliki karateristik yang berbeda dibandingkan dengan sebelum industri didirikan.
Menurut Louis Wirth (dalam Daldjuni, 1982:27): “kota ditentukan oleh ukurannya yang cukup besar, kepadatan penduduknya, dan heterogenitas masyarakatnya.” Gaya hidup khas kekotaan disebut dengan urbanisme; dan ini ditentukan oleh ciri-ciri spatial, sekularisasi, asosiasi sukarela, peranan sosial yang terpisah dan norma-norma yang kabur. Mengenai pemikiran Wirth ini, Daldjuni (1982:28) berpendapat bahwa:
Pokok-pokok yang dibicarakan oleh Wirth meliputi kedangkalan interaksi individu, anomi, serta perspektif penelaahan urbanisasi… Sebagai struktur sosial, urbanisasi menggantikan hubungan primer dengan sekunder. Akibatnya di kota ikatan kekerabatan lemah, gotong royong menipis, dan solidaritas goyah… Urbanisme melahirkan mentalitas kota dimana sikap, ide, dan keperibadian manusianya lain dengan yang terdapat di pedesaan”
Urbanisme pada komunitas di sekitar industri
sebagai sebuah gejala yang rasional, karena dorongan dari industrialisme dan
juga sebagai hasil dari proses adaptasi masyarakat terhadap tuntutan aktivitas
kerja dalam industri. Industrialisme membutuhkan tenaga kerja yang mobile.
Sifat tenaga kerja yang demikian tidak dapat diperoleh dalam masyarakat yang
memiliki ikatan sosial yang ketat, karena ikatan sosial yang ketat akan
mengganggu mobilitas warga masyarakatnya. Ikatan sosial yang longgar demikian
akan mempengaruhi bentuk solidaritas sosial masyarakatnya.
- Konsep Solidaritas Sosial
Konsep solidaritas sosial merupakan konsep sentral Emile Durkheim (1858-1917)
dalam mengembangkan teori sosiologi. Durkheim (dalam Lawang, 1994:181)
menyatakan bahwa solidaritas sosial merupakan suatu keadaan hubungan antara
individu dan/atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan
yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Solidaritas menekankan pada keadaan hubungan antar individu dan kelompok dan
mendasari keterikatan bersama dalam kehidupan dengan didukung nilai-nilai moral
dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat. Wujud nyata dari hubungan bersama
akan melahirkan pengalaman emosional, sehingga memperkuat hubungan antar
mereka.
Menurut Durkheim, berdasarkan hasilnya, solidaritas dapat dibedakan antara solidaritas positif dan solidaritas negatif. Solidaritas negatif tidak menghasilkan integrasi apapun, dan dengan demikian tidak memiliki kekhususan, sedangkan solidaritas positif dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri: (1) yang satu mengikat individu pada masyarakat secara langsung, tanpa perantara. Pada solidaritas positif yang lainnya, individu tergantung dari masyarakat, karena individu tergantung dari bagian-bagian yang membentuk masyarakat tersebut, (2) solidaritas positif yang kedua adalah suatu sistem fungsi-fungsi yang berbeda dan khusus, yang menyatukan hubungan-hubungan yang tetap, walaupun sebenarnya kedua masyarakat tersebut hanyalah satu saja. Keduanya hanya merupakan dua wajah dari satu kenyataan yang sama, namun perlu dibedakan, (3) dari perbedaan yang kedua itu muncul perbedaan yang ketiga, yang akan memberi ciri dan nama kepada kedua solidaritas itu. Ciri-ciri tipe kolektif tersebut adalah individu merupakan bagian dari masyarakat yang tidak terpisahkan, tetapi berbeda peranan dan fungsinya dalam masyarakat, namun masih tetap dalam satu kesatuan.
Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim melihat bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana menuju masyarakat modern. Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi pusat perhatian Durkheim dalam memperhatikan perkembangan masyarakat adalah bentuk solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk solidaritas sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat modern. Masyarakat sederhana mengembangkan bentuk solidaritas sosial mekanik, sedangkan masyarakat modern mengembangkan bentuk solidaritas sosial organik. Jadi, berdasarkan bentuknya, solidaritas sosial masyarakat terdiri dari dua bentuk yaitu: (1) Solidaritas Sosial Mekanik, dan (2) Solidaritas Sosial Organik.
Menurut Durkheim, berdasarkan hasilnya, solidaritas dapat dibedakan antara solidaritas positif dan solidaritas negatif. Solidaritas negatif tidak menghasilkan integrasi apapun, dan dengan demikian tidak memiliki kekhususan, sedangkan solidaritas positif dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri: (1) yang satu mengikat individu pada masyarakat secara langsung, tanpa perantara. Pada solidaritas positif yang lainnya, individu tergantung dari masyarakat, karena individu tergantung dari bagian-bagian yang membentuk masyarakat tersebut, (2) solidaritas positif yang kedua adalah suatu sistem fungsi-fungsi yang berbeda dan khusus, yang menyatukan hubungan-hubungan yang tetap, walaupun sebenarnya kedua masyarakat tersebut hanyalah satu saja. Keduanya hanya merupakan dua wajah dari satu kenyataan yang sama, namun perlu dibedakan, (3) dari perbedaan yang kedua itu muncul perbedaan yang ketiga, yang akan memberi ciri dan nama kepada kedua solidaritas itu. Ciri-ciri tipe kolektif tersebut adalah individu merupakan bagian dari masyarakat yang tidak terpisahkan, tetapi berbeda peranan dan fungsinya dalam masyarakat, namun masih tetap dalam satu kesatuan.
Berkaitan dengan perkembangan masyarakat, Durkheim melihat bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana menuju masyarakat modern. Salah satu komponen utama masyarakat yang menjadi pusat perhatian Durkheim dalam memperhatikan perkembangan masyarakat adalah bentuk solidaritas sosialnya. Masyarakat sederhana memiliki bentuk solidaritas sosial yang berbeda dengan bentuk solidaritas sosial pada masyarakat modern. Masyarakat sederhana mengembangkan bentuk solidaritas sosial mekanik, sedangkan masyarakat modern mengembangkan bentuk solidaritas sosial organik. Jadi, berdasarkan bentuknya, solidaritas sosial masyarakat terdiri dari dua bentuk yaitu: (1) Solidaritas Sosial Mekanik, dan (2) Solidaritas Sosial Organik.
1. Solidaritas Mekanik
Pandangan Durkheim mengenai masyarakat adalah sesuatu yang hidup, masyrakat
berpikir dan bertingkah laku dihadapkan kepada gejal-gejal sosial atau
fakta-fakta sosial yang seolah-olah berada di luar individu. Fakta sosial yang
berada di luar individu memiliki kekuatan untuk memaksa. Pada awalnya, fakta
sosial berasal dari pikiran atau tingkah laku individu, namun terdapat pula
pikiran dan tingkah laku yang sama dari individu-individu yang lain, sehingga
menjadi tingkah laku dan pikiran masyarakat, yang pada akhirnya menjadi fakta
sosial. Fakta sosial yang merupakan gejala umum ini sifatnya kolektif,
disesbabkan oleh sesuatu yang dipaksakan pada tiap-tiap individu.
Dalam masyarakat, manusia hidup bersama dan berinteraksi, sehingga timbul rasa kebersamaan diantar mereka. Rasa kebersamaan ini milik masyarakat yang secara sadar menimbulkan perasaan kolektif. Selanjutnya, perasaan kolektif yang merupakan akibat (resultant) dari kebersamaan, merupakan hasil aksi dan reaksi diantara kesadaran individual. Jika setiap kesadaran individual itu menggemakan perasaan kolektif, hal itu bersumber dari dorongan khusus yang berasal dari perasaan kolektif tersebut. Pada saat solidaritas mekanik memainkan peranannya, kepribadian tiap individu boleh dikatakan lenyap, karena ia bukanlah diri indvidu lagi, melainkan hanya sekedar mahluk kolektif. Jadi masing-masing individu diserap dalam kepribadian kolektif.
Argumentasi Durkheim, diantaranya pada kesadaran kolektif yang berlainan dengan dari kesadaran individual terlihat pada tingkah laku kelompok. Bilamana orang berkumpul untuk berdemonstrasi politik, huru-hara rasial atau untuk menonton sepakbola, gotong royong dan sebagainya, mereka melakukan hal-hal yang tidak mungkin mereka lakukan jika sendirian. Orang melakukan perusakan dan merampok toko-toko, menjungkirbalikan mobil, atau menunjukkan sikap kepahlawanan, kegiatan religius, semangat pengorbanan yang luar biasa, semuanya dianggap musatahil oleh yang bersangkutan.
Masyarakat bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas sosial, melainkan juga pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama dari perbuatan moral. Moralitas merupakan suatu keinginan yang rasional. Jadi perbuatan moral bukanlah sekedar “kewajiban” yang tumbuh dari dalam diri melainkan juga “kebaikan” ketika diri telah dihadapkan dengan dunia sosial. Setiap individu yang melakukan pelanggaran nilai-nilai dan norma-norma kolektif timbul rasa bersalah dan ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu sudah merasuk dalam batin dan memaksa individu, sekalipun pemaksaannya tidak langsung dirasakan karena proses pembatinan itu untuk menyesuaikan diri.
Moralitas mempunyai keterikatan yang erat dengan keteraturan perbuatan dan otoritas. Suatu tindakan bisa disebut moral, kalau tindakan itu tidak menyalahi kebiasaan yang diterima dan didukung oleh sistem kewenangan otoritas sosial yang berlaku, juga demi keterikatan pada kelompok. Jadi, keseluruhan kepercayaan dan perasaan umum di kalangan anggota masyarakat membentuk sebuah sistem tertentu yang berciri khas, sistem itu dinamakan hati nurani kolektif atau hati nurani umum.
Solidaritas mekanik tidak hanya terdiri dari ketentuan yang umum dan tidak menentu dari individu pada kelompok, kenyataannya dorongan kolektif terdapat dimana-mana, dan membawa hasil dimana-mana pula. Dengan sendirinya, setiap kali dorongan itu berlangsung, maka kehendak semua orang bergerak secara spontan dan seperasaan. Terdapat daya kekuatan sosial yang hakiki yang berdasarkan atas kesamaan-kesamaan sosial, tujuannya untuk memelihara kesatuan sosial. Hal inilah yang diungkapkan oleh hukum bersifat represif (menekan). Pelanggaran yang dilakukan individu menimbulkan reaksi terhadap kesadaran kolektif, terdapat suatu penolakkan karena tidak searah dengan tindakan kolektif. Tindakan ini dapat digambarkan, misalnya tindakan yang secara langsung mengungkapkan ketidaksamaan yang menyolok dengan orang yang melakukannya dengan tipe kolektif, atau tindakan-tindakan itu melanggar organ hati nurani umum.
Dalam masyarakat, manusia hidup bersama dan berinteraksi, sehingga timbul rasa kebersamaan diantar mereka. Rasa kebersamaan ini milik masyarakat yang secara sadar menimbulkan perasaan kolektif. Selanjutnya, perasaan kolektif yang merupakan akibat (resultant) dari kebersamaan, merupakan hasil aksi dan reaksi diantara kesadaran individual. Jika setiap kesadaran individual itu menggemakan perasaan kolektif, hal itu bersumber dari dorongan khusus yang berasal dari perasaan kolektif tersebut. Pada saat solidaritas mekanik memainkan peranannya, kepribadian tiap individu boleh dikatakan lenyap, karena ia bukanlah diri indvidu lagi, melainkan hanya sekedar mahluk kolektif. Jadi masing-masing individu diserap dalam kepribadian kolektif.
Argumentasi Durkheim, diantaranya pada kesadaran kolektif yang berlainan dengan dari kesadaran individual terlihat pada tingkah laku kelompok. Bilamana orang berkumpul untuk berdemonstrasi politik, huru-hara rasial atau untuk menonton sepakbola, gotong royong dan sebagainya, mereka melakukan hal-hal yang tidak mungkin mereka lakukan jika sendirian. Orang melakukan perusakan dan merampok toko-toko, menjungkirbalikan mobil, atau menunjukkan sikap kepahlawanan, kegiatan religius, semangat pengorbanan yang luar biasa, semuanya dianggap musatahil oleh yang bersangkutan.
Masyarakat bukanlah sekedar wadah untuk terwujudnya integrasi sosial yang akan mendukung solidaritas sosial, melainkan juga pangkal dari kesadaran kolektif dan sasaran utama dari perbuatan moral. Moralitas merupakan suatu keinginan yang rasional. Jadi perbuatan moral bukanlah sekedar “kewajiban” yang tumbuh dari dalam diri melainkan juga “kebaikan” ketika diri telah dihadapkan dengan dunia sosial. Setiap individu yang melakukan pelanggaran nilai-nilai dan norma-norma kolektif timbul rasa bersalah dan ketegangan dalam batin. Nilai-nilai itu sudah merasuk dalam batin dan memaksa individu, sekalipun pemaksaannya tidak langsung dirasakan karena proses pembatinan itu untuk menyesuaikan diri.
Moralitas mempunyai keterikatan yang erat dengan keteraturan perbuatan dan otoritas. Suatu tindakan bisa disebut moral, kalau tindakan itu tidak menyalahi kebiasaan yang diterima dan didukung oleh sistem kewenangan otoritas sosial yang berlaku, juga demi keterikatan pada kelompok. Jadi, keseluruhan kepercayaan dan perasaan umum di kalangan anggota masyarakat membentuk sebuah sistem tertentu yang berciri khas, sistem itu dinamakan hati nurani kolektif atau hati nurani umum.
Solidaritas mekanik tidak hanya terdiri dari ketentuan yang umum dan tidak menentu dari individu pada kelompok, kenyataannya dorongan kolektif terdapat dimana-mana, dan membawa hasil dimana-mana pula. Dengan sendirinya, setiap kali dorongan itu berlangsung, maka kehendak semua orang bergerak secara spontan dan seperasaan. Terdapat daya kekuatan sosial yang hakiki yang berdasarkan atas kesamaan-kesamaan sosial, tujuannya untuk memelihara kesatuan sosial. Hal inilah yang diungkapkan oleh hukum bersifat represif (menekan). Pelanggaran yang dilakukan individu menimbulkan reaksi terhadap kesadaran kolektif, terdapat suatu penolakkan karena tidak searah dengan tindakan kolektif. Tindakan ini dapat digambarkan, misalnya tindakan yang secara langsung mengungkapkan ketidaksamaan yang menyolok dengan orang yang melakukannya dengan tipe kolektif, atau tindakan-tindakan itu melanggar organ hati nurani umum.
2. Solidaritas Organik
Solidaritas organik berasal dari semakin terdiferensiasi dan kompleksitas dalam
pembagian kerja yang menyertai perkembangan sosial. Durkheim merumuskan gejala
pembagian kerja sebagai manifestasi dan konsekuensi perubahan dalam nilai-nilai
sosial yang bersifat umum. Titik tolak perubahan tersebut berasal dari revolusi
industri yang meluas dan sangat pesat dalam masyarakat. Menurutnya,
perkembangan tersebut tidak menimbulkan adanya disintegrasi dalam masyarakat,
melainkan dasar integrasi sosial sedang mengalami perubahan ke satu bentuk solidaritas
yang baru, yaitu solidaritas organik. Bentuk ini benar-benar didasarkan pada
saling ketergantungan di antara bagian-bagian yang terspesialisasi.
Pertambahan jumlah penduduk yang menimbulkan adanya “kepadatan penduduk” merupakan kejadian alam, namun disertai pula dengan gejala sosial yang lain, yaitu “kepadatan moral” masyarakat (Veeger, 1985:149). Menurut Veeger, terjadinya pertambahan penduduk (perubahan demografik) akan disertai oleh pertambahan frekuensi komunikasi dan interaksi antara para anggota, maka makin besarlah jumlah orang yang menghadapi masalah yang sama. Selain itu, kompetisi untuk mempertahankan hidup semakin memperbesar persaingan diantara mereka dalam mendapatkan sumber-sumber yang semakin terbatas. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan masyarakat yang pluralistis, dimana antar hubungan lebih banyak diatur berdasarakan pembagian kerja. Mereka mulai mengadakan kompromi dan pembagian yang memberikan ruang hidup kepada jumlah orang yang lebih besar. “Kepadatan moral” itu merupakan suatu konsep yang tidak bercorak alami, melainkan budaya, karena manusia sendiri yang membentuk masyarakat yang dikehendakinya.
Kesadaran kolektif pada masyarakat mekanik paling kuat perkembangannya pada masyarakat sederhana, dimana semua anggota pada dasarnya memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai, dan semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Pembagian kerja masih relatif rendah, tidak menghasilkan heterogenitas yang tinggi, karena belum pluralnya masyarakat. Lain halnya pada masyarakat organik, yang merupakan tipe masyarakat yang pluralistik, orang merasa lebih bebas. Penghargaan baru terhadap kebebasan, bakat, prestasi, dan karir individual menjadi dasar masyarakat pluralistik. Kesadaran kolektif perlahan-lahan mulai hilang. Pekerjaan orang menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi, merasa dirinya semakin berbeda dalam kepercayaan, pendapat, dan juga gaya hidup. Pengalaman orang menjadi semakin beragam, demikian pula kepercayaan, sikap, dan kesadaran pada umumnya.
Heterogenitas yang semakin beragam ini tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya, karena pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa semakin tergantung kepada pihak lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasinya. Peningkatan terjadi secara bertahap, saling ketergantungan fungsional antar pelbagai bagian masyarakat yang heterogen itu mengakibatkan terjadi suatu pegeseran dalam tata nilai masyarakat, sehingga menimbulkan kesadaran individu baru. Bukan pembagian kerja yang mendahului kebangkitan individu, melainkan sebaliknya perubahan dalam diri individu, di bawah pengaruh proses sosial mengakibatkan pembagian kerja semakin terdiferensiasi.
Kesadaran baru yang mendasari masyarakat modern lebih berpangkal pada individu yang mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas dalam masyarakat dan mereka tetap mempunyai kesadaran kolektif yang terbatas pada kelompoknya saja, contohnya yang sesuai dengan pekerjaannnya saja. Corak kesadaran kolektif lebih bersifat abstrak dan universal. Mereka membentuk solidaritas dalam kelompok-kelompok kecil, yang dapat bersifat mekanik.
Terjadinya perubahan sosial yang ditandai oleh meningkatnya pembagian kerja dan kompleksitas sosial, dapat juga dilihat sebagai perkembangan evolusi model linier (Lawang, 1986:188). Kecenderungan sejarah pada umumnya dalam masyarakat Barat adalah ke arah bertambahnya spesialisasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja. Perkembangan ini mempunyai dua akibat penting. Pertama, dia merombak kesadaran kolektif yang memungkinkan berkembangnya individualitas. Kedua, dia meningkatkan solidaritas organik yang didasarkan pada saling ketergantungan fungsional. Durkheim melihat masyarakat industri kota yang modern ini sebagai perwujudan yang paling penuh dari solidaritas organik.
Ikatan yang mempersatukan individu pada solidaritas mekanik adalah adanya kesadaran kolektif. Kepribadian individu diserap sebagai kepribadian kolektif sehingga individu saling menyerupai satu sama lain. Pada solidaritas organik, ditandai oleh heterogenitas dan individualitas yang semakin tinggi, bahwa individu berbeda satu sama lain. Masing-masing pribadi mempunyai ruang gerak tersendiri untuk dirinya, dimana solidaritas organik mengakui adanya kepribadian masing-masing orang.
Karena sudah terspesialisasi dan bersifat individualistis, maka kesadaran kolektif semakin kurang. Integrasi sosial akan terancam jika kepentingan-kepentingan individu atau kelompok merugikan masyarakat secara keseluruhan dan kemungkinan konflik dapat terjadi.
Pertambahan jumlah penduduk yang menimbulkan adanya “kepadatan penduduk” merupakan kejadian alam, namun disertai pula dengan gejala sosial yang lain, yaitu “kepadatan moral” masyarakat (Veeger, 1985:149). Menurut Veeger, terjadinya pertambahan penduduk (perubahan demografik) akan disertai oleh pertambahan frekuensi komunikasi dan interaksi antara para anggota, maka makin besarlah jumlah orang yang menghadapi masalah yang sama. Selain itu, kompetisi untuk mempertahankan hidup semakin memperbesar persaingan diantara mereka dalam mendapatkan sumber-sumber yang semakin terbatas. Kondisi ini selanjutnya menimbulkan masyarakat yang pluralistis, dimana antar hubungan lebih banyak diatur berdasarakan pembagian kerja. Mereka mulai mengadakan kompromi dan pembagian yang memberikan ruang hidup kepada jumlah orang yang lebih besar. “Kepadatan moral” itu merupakan suatu konsep yang tidak bercorak alami, melainkan budaya, karena manusia sendiri yang membentuk masyarakat yang dikehendakinya.
Kesadaran kolektif pada masyarakat mekanik paling kuat perkembangannya pada masyarakat sederhana, dimana semua anggota pada dasarnya memiliki kepercayaan bersama, pandangan, nilai, dan semuanya memiliki gaya hidup yang kira-kira sama. Pembagian kerja masih relatif rendah, tidak menghasilkan heterogenitas yang tinggi, karena belum pluralnya masyarakat. Lain halnya pada masyarakat organik, yang merupakan tipe masyarakat yang pluralistik, orang merasa lebih bebas. Penghargaan baru terhadap kebebasan, bakat, prestasi, dan karir individual menjadi dasar masyarakat pluralistik. Kesadaran kolektif perlahan-lahan mulai hilang. Pekerjaan orang menjadi lebih terspesialisasi dan tidak sama lagi, merasa dirinya semakin berbeda dalam kepercayaan, pendapat, dan juga gaya hidup. Pengalaman orang menjadi semakin beragam, demikian pula kepercayaan, sikap, dan kesadaran pada umumnya.
Heterogenitas yang semakin beragam ini tidak menghancurkan solidaritas sosial. Sebaliknya, karena pembagian kerja semakin tinggi, individu dan kelompok dalam masyarakat merasa semakin tergantung kepada pihak lain yang berbeda pekerjaan dan spesialisasinya. Peningkatan terjadi secara bertahap, saling ketergantungan fungsional antar pelbagai bagian masyarakat yang heterogen itu mengakibatkan terjadi suatu pegeseran dalam tata nilai masyarakat, sehingga menimbulkan kesadaran individu baru. Bukan pembagian kerja yang mendahului kebangkitan individu, melainkan sebaliknya perubahan dalam diri individu, di bawah pengaruh proses sosial mengakibatkan pembagian kerja semakin terdiferensiasi.
Kesadaran baru yang mendasari masyarakat modern lebih berpangkal pada individu yang mulai mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok yang lebih terbatas dalam masyarakat dan mereka tetap mempunyai kesadaran kolektif yang terbatas pada kelompoknya saja, contohnya yang sesuai dengan pekerjaannnya saja. Corak kesadaran kolektif lebih bersifat abstrak dan universal. Mereka membentuk solidaritas dalam kelompok-kelompok kecil, yang dapat bersifat mekanik.
Terjadinya perubahan sosial yang ditandai oleh meningkatnya pembagian kerja dan kompleksitas sosial, dapat juga dilihat sebagai perkembangan evolusi model linier (Lawang, 1986:188). Kecenderungan sejarah pada umumnya dalam masyarakat Barat adalah ke arah bertambahnya spesialisasi dan kompleksitas dalam pembagian kerja. Perkembangan ini mempunyai dua akibat penting. Pertama, dia merombak kesadaran kolektif yang memungkinkan berkembangnya individualitas. Kedua, dia meningkatkan solidaritas organik yang didasarkan pada saling ketergantungan fungsional. Durkheim melihat masyarakat industri kota yang modern ini sebagai perwujudan yang paling penuh dari solidaritas organik.
Ikatan yang mempersatukan individu pada solidaritas mekanik adalah adanya kesadaran kolektif. Kepribadian individu diserap sebagai kepribadian kolektif sehingga individu saling menyerupai satu sama lain. Pada solidaritas organik, ditandai oleh heterogenitas dan individualitas yang semakin tinggi, bahwa individu berbeda satu sama lain. Masing-masing pribadi mempunyai ruang gerak tersendiri untuk dirinya, dimana solidaritas organik mengakui adanya kepribadian masing-masing orang.
Karena sudah terspesialisasi dan bersifat individualistis, maka kesadaran kolektif semakin kurang. Integrasi sosial akan terancam jika kepentingan-kepentingan individu atau kelompok merugikan masyarakat secara keseluruhan dan kemungkinan konflik dapat terjadi.
Solidaritas Sosial Organik pada
Masyarakat di Sekitar Industri
Sebagaimana telah disampaikan pada bagian awal bahwa masyarakat yang berada di sekitar industri ditempatkan mengalami perkembangan ke arah bentuk masyarakat industri-kota. Dalam pandangan Durkheim, masyarakat industri-kota merupakan perwujudan yang paling penuh dari solidaritas organik. Karena masyarakat di sekitar industri pada awalnya adalah masyarakat pedesaan yang memiliki ciri solidaritas mekanik, maka dalam proses perkembangan tersebut, masyarakat di sekitar industri dapat dikatakan masih berada dalam proses menjadi komunitas yang memiliki bentuk solidaritas organik.
Komunitas industri-kota memiliki struktur dan fungsi yang khas dengan ciri-ciri yang khas. Dibandingkan dengan kondisi komunitas sebelumnya industri didirikan, komunitas industri-kota ditandai dengan banyak perbedaan. Perbedaan ini, ditimbulkan oleh adanya kesempatan dan kemampuan yang berbeda dari masing-masing individu. Terlebih lagi tuntutan industri membuat individu menspesialisasikan diri pada bidang kegiatan ataupun keahlian tertentu. Walaupun spesialisasi ini, pada masyarakat industri-kota yang masih dalam proses pembentukan belum dirasakan betul berimbas kepada kehidupan sosial mereka.
Terbukanya mobilitas sosial pada masyarakat kota menjadikan komunitas tersebut relatif kompleks, yaitu terdiri dari berbagai kelompok, kelas, suku bangsa, ras, agama, dan golongan. Banyaknya pendatang ke dalam komunitas, yang berasal dari berbagai daerah, sedikit banyak menyebabkan adanya beragam budaya pada masyarakat tersebut. Secara suku bangsa, ras, dan agama individu dalam komunitas semakin beragam, yang mana latar belakang sosial budaya tersebut mempengaruhi perilaku setiap individu dalam berinteraksi. Industri juga mempengaruhi sistem stratifikasi sosial yang selama ini terdapat dalam masyarakat. Dalam stratifikasi sosial yang berkembang kemudian, kelas sosial mulai mempertimbangkan kedudukan yang ditempati oleh seseorang sebagai instrumen yang menentukan dalam menempatkan kedudukan seseorang dalam struktur. Perpaduan berbagai instrumen dalam mendudukan posisi setiap individu, menjadikan struktur sosial masyarakat menjadi semakin kompleks.
Namun, menurut Daldjuni (1982:42), pada masyarakat dimana pembagian kerja sudah cukup maju seperti masyarakat indsutri-kota, struktur segmental masih belum lenyap. Meskipun pembagian kerja secara ekonomi maju, tetap merupakan lapisan atas atau luar saja dari kehidupan. Hal ini dapat terjadi tanpa banyak mengubah struktur sosial yang pokok; seperti yang terjadi pada masyarakat di Inggris. Penyebab dari tetap segmentalnya masyarakat industri-kota adalah adanya semangat suka meniru yang ditularkan oleh peradaban yang lebih halus.
Selanjutnya, kompleksitas dalam struktur sosial mengakibatkan peran-peran yang harus dilakukan oleh setiap individu menjadi serba relatif, tergantung kepada status yang disandangnya. Karena itu, bila komunitas tradisional ditandai dengan adanya peran-peran yang relatif sedikit dan terumuskan dengan baik, maka dalam komunitas industri-kota terdapat banyak sekali peran. Status-peran yang dimiliki menjadikan setiap individu sebagai instrumen dalam keseluruhan proses sosial masyarakat; peran dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang dialami secara individual.
Peran-peran dalam masyarakat industri-kota seringkali dibedakan dengan tegas. Orang-orang saling mengadakan kontak hanya bila mereka memainkan peran-peran tertentu; hubungan sosial bersifat segmental dan tidak melibatkan seluruh kepribadian seperti halnya dalam komunitas tradisional. Kontak sosial dalam komunitas kota seringkali berdasarkan kemanfaatan daripada berdasarkan status; orang-orang berinteraksi untuk tujuan-tujuan pribadi, yang seringkali merupakan pengeksploitasian. Namun sebagai komunitas yang sedang berkembang, pada sebagian komunitas masih terdapat kontak sosial yang tidak sepenuhnya dalam rangka pemanfaatan fihak lain; walaupaun orientasi material sudah mulai nampak dalam kontak sosial tersebut.
Menurut Dukheim (dalam Daldjuni: 1982: 43), pada masyarakat organik terjadi pengurangan suasana yang dikehendaki oleh mufakat kolektif serta pelembekan reaksi kolektif terhadap pengetatan larangan. Nilai-nilai dan ketentuan bersama pada komunitas sekitar industri mulai meluntur dan mulai didominasi oleh sumber lain dalam melakukan kontrol sosial. Kalaupun nampak dalam kehidupan masyarakat, yang terlihat adalah ‘kulit luarnya’ saja, yaitu mode, selera, dan basa-basi. Simbol-simbol tatanan sosial pada komunitas kota ini adalah polisi, pengadilan, dan hukum positif –bukan adat istiadat atau tradisi. “Orang lebih mentaati peraturan bukan karena percaya akan kebaikan peraturan tersebut, tatapi karena manfaat menaatinya” (Schneider, 1993:442). Dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai dengan berbagai perbedaan diantara anggotanya diperlukan toleransi dan proses sosial yang akomodatif terhadap pihak lain guna menciptakan kehidupan yang rukun.
Karena peran-peran dipisah-pisahkan dan tidak nilai bersama, maka kesatu-paduan komunitas industri-kota menjadi lemah. Semangat kebersamaan, loyalitas kepada komunitas, dan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama menjadi melemah. Individu merasa lebih loyal kepada keluarganya, kepada perusahaannya, atau kepada kelompoknya. Dalam mengembangkan loyalitasnya, individu mulai membatasi pada lingkungan yang terbatas, yang menurut pertimbangan pragmatisnya dapat mendukung dalam pemenuhan berbagai kebutuhannya. Dalam situasi demikian, loyalitas dan solidaritas lebih banyak diarahkan kepada lingkungan yang menurut perasaannya lebih dekat, sehingga kesatu-paduan ini lebih cenderung terdapat dalam kelompoknya, seperti diantara sesama pendatang walaupun berbeda latar belakang sosial budayanya.
Situasi yang terdapat pada komunitas industri-kota, yaitu tidak mempunyai sistem nilai bersama, tidak mempunyai rasa identifikasi antara individu dan sesamanya, individu dan dirinya sendiri, serta tidak mempunyai kesatu-paduan dan tujuan, sampai tingkat tertentu dapat mengakibatkan komunitas industri-kota (seperti yang disebut Durkheim) berada dalam keadaan anomi; komunitas industri-kota terdiri dari individu-individu yang terisolasi atau kelompok-kelompok yang terisolasi. Dalam situasi seperti ini, dapat diramalkan bahwa komunitas ini akan menunjukkan tanda-tanda disorganisasi. Sebagaimana yang sudah disampaikan, komunitas industri-kota yang sedang berkembang belum sampai pada titik yang demikian. Anomi tidak terjadi secara penuh dalam sendi-sendi kehidupan komunitas. Nilai-nilai komunitas lokal yang ada sebelum industri berdiri, biasanya masih lebih banyak dijadikan acuan oleh semua orang, termasuk oleh penduduk pendatang.
Menurut Schneider (1993: 444-445), situasi yang terjadi pada masyarakat kota yang ditandai dengan adanya pembedaan orang secara tegas berdasarkan teknologi, kekuasaan, dan kepemilikan, serta tidak ada sistem nilai bersama merupakan situasi yang secara alamiah berkembang sesuai dengan kebutuhan dari komunitas industri-kota. Industrialisme tidak dapat hidup dalam komunitas yang menganut sistem nilai bersama. Dalam komunitas dimana peran-peran dipisah-sisah dan hubungan sosial bersifat impersonal industrialisme dapat berkembang, karena pada situasi demikian setiap orang menjadi termotivasi untuk mengembangkan diri dan menjalankan berbagai tugas sulit masyarakat industri.
Selanjutnya, barangkali banyak orang mendapatkan kepuasan dan pemenuhan justru dalam kehidupan sosial kota yang anonim, segmental dan terus berubah. Di kota tidak ada kontrol yang ketat terhadap kebiasaan-kebiasaan pribadi orang dan praktek-praktek hedonistik. Dalam kehidupan sosial demikian, komunitas pada dasarnya sudah mengembangkan suatu sistem nilai yang cocok untuk kehidupannya. Dalam segala kemungkinannya, banyak anggota komunitas yang benar-benar diurbanisasikan dalam nilai-nilai, kebiasaan dan sikap mereka. Proses ini bukanlah sebuah proses yang secara sengaja dipaksakan terhadap anggota komunitas, namun proses yang berjalan dengan sendirinya dalam upaya menyesuaikan diri dengan perubahan yang sedang terjadi pada lingkungan, karena bila tidak menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, komunitas akan mengalami berbagai hambatan dalam kehidupannya.
Sebagaimana telah disampaikan pada bagian awal bahwa masyarakat yang berada di sekitar industri ditempatkan mengalami perkembangan ke arah bentuk masyarakat industri-kota. Dalam pandangan Durkheim, masyarakat industri-kota merupakan perwujudan yang paling penuh dari solidaritas organik. Karena masyarakat di sekitar industri pada awalnya adalah masyarakat pedesaan yang memiliki ciri solidaritas mekanik, maka dalam proses perkembangan tersebut, masyarakat di sekitar industri dapat dikatakan masih berada dalam proses menjadi komunitas yang memiliki bentuk solidaritas organik.
Komunitas industri-kota memiliki struktur dan fungsi yang khas dengan ciri-ciri yang khas. Dibandingkan dengan kondisi komunitas sebelumnya industri didirikan, komunitas industri-kota ditandai dengan banyak perbedaan. Perbedaan ini, ditimbulkan oleh adanya kesempatan dan kemampuan yang berbeda dari masing-masing individu. Terlebih lagi tuntutan industri membuat individu menspesialisasikan diri pada bidang kegiatan ataupun keahlian tertentu. Walaupun spesialisasi ini, pada masyarakat industri-kota yang masih dalam proses pembentukan belum dirasakan betul berimbas kepada kehidupan sosial mereka.
Terbukanya mobilitas sosial pada masyarakat kota menjadikan komunitas tersebut relatif kompleks, yaitu terdiri dari berbagai kelompok, kelas, suku bangsa, ras, agama, dan golongan. Banyaknya pendatang ke dalam komunitas, yang berasal dari berbagai daerah, sedikit banyak menyebabkan adanya beragam budaya pada masyarakat tersebut. Secara suku bangsa, ras, dan agama individu dalam komunitas semakin beragam, yang mana latar belakang sosial budaya tersebut mempengaruhi perilaku setiap individu dalam berinteraksi. Industri juga mempengaruhi sistem stratifikasi sosial yang selama ini terdapat dalam masyarakat. Dalam stratifikasi sosial yang berkembang kemudian, kelas sosial mulai mempertimbangkan kedudukan yang ditempati oleh seseorang sebagai instrumen yang menentukan dalam menempatkan kedudukan seseorang dalam struktur. Perpaduan berbagai instrumen dalam mendudukan posisi setiap individu, menjadikan struktur sosial masyarakat menjadi semakin kompleks.
Namun, menurut Daldjuni (1982:42), pada masyarakat dimana pembagian kerja sudah cukup maju seperti masyarakat indsutri-kota, struktur segmental masih belum lenyap. Meskipun pembagian kerja secara ekonomi maju, tetap merupakan lapisan atas atau luar saja dari kehidupan. Hal ini dapat terjadi tanpa banyak mengubah struktur sosial yang pokok; seperti yang terjadi pada masyarakat di Inggris. Penyebab dari tetap segmentalnya masyarakat industri-kota adalah adanya semangat suka meniru yang ditularkan oleh peradaban yang lebih halus.
Selanjutnya, kompleksitas dalam struktur sosial mengakibatkan peran-peran yang harus dilakukan oleh setiap individu menjadi serba relatif, tergantung kepada status yang disandangnya. Karena itu, bila komunitas tradisional ditandai dengan adanya peran-peran yang relatif sedikit dan terumuskan dengan baik, maka dalam komunitas industri-kota terdapat banyak sekali peran. Status-peran yang dimiliki menjadikan setiap individu sebagai instrumen dalam keseluruhan proses sosial masyarakat; peran dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi yang dialami secara individual.
Peran-peran dalam masyarakat industri-kota seringkali dibedakan dengan tegas. Orang-orang saling mengadakan kontak hanya bila mereka memainkan peran-peran tertentu; hubungan sosial bersifat segmental dan tidak melibatkan seluruh kepribadian seperti halnya dalam komunitas tradisional. Kontak sosial dalam komunitas kota seringkali berdasarkan kemanfaatan daripada berdasarkan status; orang-orang berinteraksi untuk tujuan-tujuan pribadi, yang seringkali merupakan pengeksploitasian. Namun sebagai komunitas yang sedang berkembang, pada sebagian komunitas masih terdapat kontak sosial yang tidak sepenuhnya dalam rangka pemanfaatan fihak lain; walaupaun orientasi material sudah mulai nampak dalam kontak sosial tersebut.
Menurut Dukheim (dalam Daldjuni: 1982: 43), pada masyarakat organik terjadi pengurangan suasana yang dikehendaki oleh mufakat kolektif serta pelembekan reaksi kolektif terhadap pengetatan larangan. Nilai-nilai dan ketentuan bersama pada komunitas sekitar industri mulai meluntur dan mulai didominasi oleh sumber lain dalam melakukan kontrol sosial. Kalaupun nampak dalam kehidupan masyarakat, yang terlihat adalah ‘kulit luarnya’ saja, yaitu mode, selera, dan basa-basi. Simbol-simbol tatanan sosial pada komunitas kota ini adalah polisi, pengadilan, dan hukum positif –bukan adat istiadat atau tradisi. “Orang lebih mentaati peraturan bukan karena percaya akan kebaikan peraturan tersebut, tatapi karena manfaat menaatinya” (Schneider, 1993:442). Dalam kehidupan masyarakat yang diwarnai dengan berbagai perbedaan diantara anggotanya diperlukan toleransi dan proses sosial yang akomodatif terhadap pihak lain guna menciptakan kehidupan yang rukun.
Karena peran-peran dipisah-pisahkan dan tidak nilai bersama, maka kesatu-paduan komunitas industri-kota menjadi lemah. Semangat kebersamaan, loyalitas kepada komunitas, dan rasa tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama menjadi melemah. Individu merasa lebih loyal kepada keluarganya, kepada perusahaannya, atau kepada kelompoknya. Dalam mengembangkan loyalitasnya, individu mulai membatasi pada lingkungan yang terbatas, yang menurut pertimbangan pragmatisnya dapat mendukung dalam pemenuhan berbagai kebutuhannya. Dalam situasi demikian, loyalitas dan solidaritas lebih banyak diarahkan kepada lingkungan yang menurut perasaannya lebih dekat, sehingga kesatu-paduan ini lebih cenderung terdapat dalam kelompoknya, seperti diantara sesama pendatang walaupun berbeda latar belakang sosial budayanya.
Situasi yang terdapat pada komunitas industri-kota, yaitu tidak mempunyai sistem nilai bersama, tidak mempunyai rasa identifikasi antara individu dan sesamanya, individu dan dirinya sendiri, serta tidak mempunyai kesatu-paduan dan tujuan, sampai tingkat tertentu dapat mengakibatkan komunitas industri-kota (seperti yang disebut Durkheim) berada dalam keadaan anomi; komunitas industri-kota terdiri dari individu-individu yang terisolasi atau kelompok-kelompok yang terisolasi. Dalam situasi seperti ini, dapat diramalkan bahwa komunitas ini akan menunjukkan tanda-tanda disorganisasi. Sebagaimana yang sudah disampaikan, komunitas industri-kota yang sedang berkembang belum sampai pada titik yang demikian. Anomi tidak terjadi secara penuh dalam sendi-sendi kehidupan komunitas. Nilai-nilai komunitas lokal yang ada sebelum industri berdiri, biasanya masih lebih banyak dijadikan acuan oleh semua orang, termasuk oleh penduduk pendatang.
Menurut Schneider (1993: 444-445), situasi yang terjadi pada masyarakat kota yang ditandai dengan adanya pembedaan orang secara tegas berdasarkan teknologi, kekuasaan, dan kepemilikan, serta tidak ada sistem nilai bersama merupakan situasi yang secara alamiah berkembang sesuai dengan kebutuhan dari komunitas industri-kota. Industrialisme tidak dapat hidup dalam komunitas yang menganut sistem nilai bersama. Dalam komunitas dimana peran-peran dipisah-sisah dan hubungan sosial bersifat impersonal industrialisme dapat berkembang, karena pada situasi demikian setiap orang menjadi termotivasi untuk mengembangkan diri dan menjalankan berbagai tugas sulit masyarakat industri.
Selanjutnya, barangkali banyak orang mendapatkan kepuasan dan pemenuhan justru dalam kehidupan sosial kota yang anonim, segmental dan terus berubah. Di kota tidak ada kontrol yang ketat terhadap kebiasaan-kebiasaan pribadi orang dan praktek-praktek hedonistik. Dalam kehidupan sosial demikian, komunitas pada dasarnya sudah mengembangkan suatu sistem nilai yang cocok untuk kehidupannya. Dalam segala kemungkinannya, banyak anggota komunitas yang benar-benar diurbanisasikan dalam nilai-nilai, kebiasaan dan sikap mereka. Proses ini bukanlah sebuah proses yang secara sengaja dipaksakan terhadap anggota komunitas, namun proses yang berjalan dengan sendirinya dalam upaya menyesuaikan diri dengan perubahan yang sedang terjadi pada lingkungan, karena bila tidak menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi, komunitas akan mengalami berbagai hambatan dalam kehidupannya.
- Kesimpulan
Bentuk solidaritas sosial masyarakat industri-kota adalah solidaritas organik.
Namun, karena komunitas industri-kota masih berada dalam proses perkembangan,
karakteristik yang terdapat pada komunitas ini masih belum menunjukkan
karakteristik dari masyarakat organik penuh. Pada komunitas ini masih ditemui
adanya beberapa karakteristik dari masyarakat yang yang mekanik.
Perubahan bentuk solidaritas sosial masyarakat industri-kota merupakan sebuah proses yang alamiah dan dibutuhkan oleh masyarakat. Industrialisme tidak dapat berkembang dalam masyarakat yang bentuk solidaritasnya adalah solidaritas mekanik.
Perubahan bentuk solidaritas sosial masyarakat industri-kota merupakan sebuah proses yang alamiah dan dibutuhkan oleh masyarakat. Industrialisme tidak dapat berkembang dalam masyarakat yang bentuk solidaritasnya adalah solidaritas mekanik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar